top of page

PRESS RELEASE: Laksmi Pamuntjak Mendukung Pengunduran Diri Delegasi Indonesia Dari Frankfurt Book Fair 2023

16 Oktober 2023  PARIS - Ketika saya, sebagai pemenang penghargaan sastra Jerman LiBeraturpreis 2015, merilis pernyataan saya soal LiBeraturpreis 2023 pada 14 Oktober lalu sebagai respons terhadap artikel New York Times bertajuk “Award Ceremony for Palestinian Author at Frankfurt Book Fair is Canceled” (13/10/2023), saya telah membaca beberapa artikel di media Jerman yang mengatakan bahwa LitProm, organisasi pengelola LiBeraturpreis, menyatakan bahwa keputusan menunda penyelengaraan upacara penghargaan dilakukan dengan persetujuan pemenang penghargaan, yaitu novelis Palestina Adania Shibli.


Saya juga membaca artikel-artikel di media Jerman lain yang mengutip LitProm bahwa upacara penghargaan tetap akan diselenggarakan, hanya menunggu setting dan format yang tepat, seusai pameran buku.


Tapi, hari ini, saya membaca dalam artikel The Guardian bertajuk “Palestinian Voices ‘Shut Down’ at Frankfurt Book Fair, says Authors” (15/10/2023) bahwa agen sastra Adania Shibli mengatakan pada The Guardian bahwa keputusan penundaan upacara itu TIDAK dilakukan dengan persetujuan sang pemenang.


Menurut agen sastra Adania, bila upacara tetap diselenggarakan sang novelis akan menggunakan kesempatan itu untuk merenungkan peran sastra dalam masa yang kejam dan penuh penderitaan ini. Ketakinginan “merayakan kemenangan” tidak pernah menjadi tujuan Shibli, sebagaimana dikatakan oleh LitPtrom dalam penyataan persnya beberapa hari yang lalu. Sebab tujuan penghargaan ini adalah memberi apresiasi terhadap peran penulis dan sastra dalam masyarakat.


Berdasarkan info terbaru ini saya mendukung pengunduran diri delegasi Indonesia dari Frankfurt Book Fair tahun ini. Saya juga mendukung teman-teman penulis seluruh dunia yang telah menandatangani surat terbuka yang mengecam keputusan FBF. Saya bersikukuh pada pendirian saya bahwa loyalitas tertinggi sebuah pameran buku adalah pada kemanusiaan, dan ketakmampuan FBF untuk membela dan mempertahankan keputusan sastrawinya—meski keputusan ini disebabkan oleh luka sejarah yang dalam dan bukan bagi kita untuk menimbang nilai maupun keabsahannya—adalah sesuatu yang perlu disesalkan.


Lebih lagi, keberpihakan FBF pada Israel di mana Israel dan Palestina sama-sama mengalami penderitaan hebat menunjukkan bahwa pameran buku ini tak lagi mewakili suara dunia, di mana semua bangsa dan negara berhak dan layak mendapat panggung untuk menyuarakan kebenaran mereka masing-masing. Sebagaimana FBF ingin menambah “panggung untuk para penulis Israel” seharusnya mereka juga menambah panggung untuk para penulis Palestina, bukan malah membungkam mereka.


Sebagai pameran buku terbesar di dunia, FBF bahkan berada dalam posisi yang baik untuk mencoba mempersatukan mereka dalam sebuah dialog yang konstruktif, dan yang punya potensi memulihkan. Seperti kata seorang teman, “buku seharusnya menyatukan, bukan memecah belah.”


Laksmi Pamuntjak



bottom of page