Kitab Kawin (Edisi Khusus International Women’s Day 2021)
Penerbit:
Tahun penerbitan:
Gramedia Pustaka Utama
2021
Sinopsis
Dalam kumpulan cerpen barunya, Kitab Kawin, Laksmi ‘mengawinkan’ kata ‘kitab’ dan kata ‘kawin’---dua kata/konsep yang tak selalu sejalan. Katakanlah semacam pemlesetan atas ‘buku nikah.’ Jika ‘Kitab’ terkesan tua, berat, serius, bahkan sakral---Kitab Suci, misalnya—kata ‘kawin’ punya makna ganda dalam bahasa Indonesia.
Dalam KBBI, ada sejumlah definisi ‘kawin’: membentuk keluarga dengan lawan jenis, beristri atau bersuami; bersetubuh, atau menjalani ritus/upacara perkawinan. Kalau orang bilang ia sudah ‘kawin’, belum tentu maksudnya sudah menikah. Bisa saja maksudnya ia sudah melakukan hubungan intim dengan seseorang.
Maka Laksmi melakukan dua hal: pertama, bermain dengan kemungkinan adanya ‘kitab-kitab’ atau bacaan-bacaan yang lebih elastis tentang hubungan-hubungan manusia yang menyangkut laku ‘kawin’ ini---baik hubungan cinta, pernikahan, maupun hubungan yang melibatkan persetubuhan (yang tak harus atas dasar suka-sama-suka, tapi bisa juga dilakukan atas keinginan sepihak, atau secara paksa, seperti dalam kasus pemerkosaan).
Kedua, bercerita ‘melalui perspektif perempuan, tentang perempuan, untuk perempuan.’ Ini bukan berarti laki-laki tak bisa mengatasnamakan, apalagi memahami perempuan, tapi ada pengalaman-pengalaman serta pergolakan-pergolakan tertentu yang hanya bisa dirasakan dan dialami oleh perempuan, terutama yang menyangkut tubuhnya. (Dan yang hanya bisa diutarakan kepada sesama perempuan).
Dan ‘perspektif perempuan’ dalam cerita-cerita ini bukan perspektif perempuan yang diidealisasi atau diromantisir. Perempuan-perempuan dalam kumcer ini tampil seperti apa adanya: kadang ragu, mencla-mencle, gak konsisten, gak pede, gak adil, sok tau, bahkan sedikit kejam dan manipulatif. Sebagaimana banyak perempuan tak merdeka, perempuan juga tak selamanya korban.
Di dalam Kitab Kawin, kita bertemu 12 perempuan dengan persoalan, kepedihan, kebahagiaan, kegagalan sekaligus pencapaian mereka masing-masing. Ada yang cuek, berani, penuh akal, gak cengeng, gak peduli kata atau penilaian orang, gak takut dianggap bukan ‘perempuan baik-baik’; perempuan-perempuan yang tak hanya nyaman berbicara tentang tubuh, seks, dan kebutuhan lahiriah mereka, tapi juga berani menuntut apa yang mereka anggap hak mereka. Tapi ada juga perempuan-perempuan yang kalah, patah, tak bersuara, sebab tak semua perempuan mampu membebaskan diri dari situasinya, apalagi setelah begitu banyak direnggut dari mereka.
Setiap kitab yang diberi judul nama para perempuan itu—Rosa, Maya, Sarah, Celine, Isabel, Sofia, Esme, Amira, Hesti, Raihan, Mukaburung—adalah kisah si perupa, si seniman, si pekerja toserba, si karyawan, si instruktur yoga, si ibu paruh baya, si pekerja resto Korea. Ada yang diduakan suami; ada yang disodor-sodorkan suaminya ke laki-laki lain; ada yang dihajar suaminya di hadapan orang banyak; ada yang diperkosa bapaknya sendiri. Ada pula yang jatuh hati pada isteri abangnya sendiri; ada yang dipaksa menikah pada masih sangat dini, dan ada perempuan nun di Pulau Buru yang merasakan keintiman sejati untuk pertama kalinya.
Dari rumah-rumah kelas menengah atas Jakarta, kota kecil di daerah pedesaan Jawa Tengah, atau pedalaman Pulau Buru, kitab-kitab ini tak saja berkisah tentang jiwa-jiwa yang buncah, kesepian dan terlantar, tapi juga tubuh-tubuh yang sakit dan terpasung. Beberapa dari mereka melakukan perlawanan dengan cara-cara yang tak selamanya membebaskan: selingkuh untuk memperbaiki hubungan dengan suami, selingkuh untuk balas dendam, menghabisi nyawa suami (atau tidak). Tapi ada juga yang memilih secara sadar untuk tidak kawin, karena mereka merasa lebih nyaman hidup mandiri.
Yang jelas, perempuan-perempuan ini ada di tengah-tengah kita.